"Compos Mentis" Kolaborasi Tubuh, Ritme, dan Suara Semesta.

Oleh Suryajow

Foto: Galih Mukti


Sabtu (27/09) Bandung menggelar sebuah kolaborasi apik dari empat penampil yang menyajikan bentuk pertunjukan berupa 'performance art' di NuArt Sculpture Park. Adapun seniman tersebut yaitu Puspa Karima (Sumedang), Sitras Ajilin (Magelang), Arahmaiani Feisal (Yogyakarta) , M.H. Dutama (Bandung).


Empat penampil tersebut hadir untuk mengisi ruang di Mayameru yang bertajuk "Susur Suara Rupa Mandala", Mayameru adalah Ruang dialog untuk memahami kembali ruang lingkup kehidupan di sekitar gunung berapi dalam dinamika peradaban masyarakat khususnya di Indonesia. Kegiatan Mayameru ini digagas oleh kelompok muda dengan berbagai macam latar belakang disiplin yang dipertemukan atas dasar ketertarikan mereka pada konstelasi sebaran gunung berapi di Nusantara dan juga mencari kembali nilai tentang hubungan semesta dan manusia.

Foto: Galih Mukti


Puspa Karima dalam pertunjukannya sore itu, membawakan sajian lagu Nataan Gunung yang dikemas dengan alunan musik tarawangsa. Nataan Gunung merupakan salah satu lagu yang diciptakan oleh Dalem Pancaniti atau Bupati Cianjur pada kisaran abad 19, dalam syairnya menyebutkan nama Gunung-gunung berapi  khususnya yang ada di Jawa Barat. Dalam syairnya Dalem Pancaniti menitipkan makna tersirat bahwa sesungguhnya kita ini hidup berdampingan, dan saling terhubung dengan seluruh entitas semesta, satu diantaranya adalah Gunung. Syair Nataan Gunung merupakan bagian dari refleksi atas sistem mitigasi masyarakat Sunda terdahulu, bahwa manusia harus memiliki kesadaran memiliki keterhubungan antara semesta, manusia, dan Sang pencipta.


Dalam sajian lagu Nataan Gunung ini, Puspa Karima berkolaborasi bersama beberapa seniman dengan berbagai latar belakang seni, diantaranya Mbah Sitras Anjilin penari sekaligus sesepuh Padepokan Seni Tjipta Boedaja yang berada di kaki Gunung Merapi. Ia hadir dengan cara merespon bunyi melalui gerak tubuh tanpa batasan dan berkesadaran penuh mengisi ruang, serta mengikutu ritme semesta. Kemudian, Arahmaiani merespon ruang dengan gerak tubuh dengan perpaduan artistik yang dia bawa yaitu bendera bertuliskan Tanah dan Air. Cukup menarik, karena manusia pada dasarnya adalah bagian dari kehidupan itu sendiri, dan unsur utama dalam kehidupan diantaranya yaitu air dan tanah. Rahmaiani seolah memberi stimulus kesadaran akan unsur-unsur penting dalam berkehidupan, seperti yang dikatakannya dalam sesi diskusi bahwa melalui tanah dan air kita dapat membaca ulang paradoks gunung sebagai ruang kehidupan yang lahir dari kehancuran. Kemudian M.H. Dutama hadir membawakan mantra Angliputi dan mengajak audiens berintetaksi melalui dua buah batu yang dibagikan sebelum pertunjukan dimulai, dalam hal ini hadirin dibebaskan membunyikan pukulan batu sesuai emosi dan tingkat kesadaran masing-masing dalam merespon ruang ritme semesta yang ada. 

Foto: Galih Mukti



Pada akhirnya dengan menyaksikan pertunjukan kolaborasi ini kita dibawa menuju ke puncak kesadaran untuk  semakin memahami respon kita terhadap ruang semesta yang disajikan Sang Maha Pencipta. Seperti istilah "Compos Mentis" yang dalam dunia medis berarti kondisi ketika seseorang berada dalam kondisi kesadaran penuh. Mayameru "Susur Suara Rupa Mandala" bukan sekadar panggung pertunjukan, melainkan semacam Mandala tempat tubuh, bunyi, dan bumi saling memanggil, menyadarkan, dan mengingatkan kita pada keterikatan terdalam antara manusia dan semesta. 



Editor: Venolisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar