Prelude in Angklung: Cita Rasa Baru Musik Bambu

Foto: Mayang A Nurzaini

Alunan musik menggema ke seluruh penjuru Atrium Braga Citywalk di sore itu. Para musisi berseragam serba hitam, berdiri di hadapan instrumennya masing-masing. Ada carumba (calung rumpun bambu), angklung toél, angklung orchestra, suling, dan beberapa instrumen musik Barat: piano, gitar, bass dan drum.

Dipandu oleh seorang konduktor, para musisi muda itu tampil penuh semangat dalam memainkan sebelas karya musik hasil gubahan dua komposer, Yadi Mulyadi dan Whayan Christiana.

Opening, The Shire, He’s Pirates, Mossa, Genduk Thole, Gobak Sodor, Teroreng, Kontradiksi, Extention, Bakikik dan Sky, ditampilkan apik dalam Prelude in Angklung.

Konser angklung spektakuler ini dikelola oleh Iwung Foundation, sebuah yayasan nirlaba yang aktif bergerak dalam bidang pelestarian dan pengembangan musik angklung. Ternyata, ini bukan permulaan, sebelumnya, tiga konser serupa telah digelar, yakni SVARA (2017) dan SORA (2018, 2019) dalam rangka memperingati hari Angklung Dunia.

Sesuai dengan tema Epic Crescendio yang diusung, Iwung Foundation menyuguhkan sajian musik angklung yang relatif ‘berbeda’, dengan harapan akan menjadi permulaan yang baik bagi perkembangan musik angklung di masa datang. Jika biasanya angklung hanya memainkan lagu-lagu yang telah populer, Iwung Foundation berupaya untuk menciptakan karya aransemen dan komposisi musik dengan kekhasannya tersendiri.

Walaupun menggunakan media alat musik bambu dan Barat yang bertangga nada diatonis, sang komposer tidak ragu memasukkan unsur tradisional Sunda dalam komposisinya. Salah satunya yakni penggunaan tangga nada pentatonis di beberapa karya.

Opening sebagai pembuka konser, menggunakan pentatonic scale Sunda yang terdengar seperti laras Madenda.
Lagu Kontradiksi banyak memunculkan bagian solo dan improvisasi suling Sunda laras madenda yang dihiasi dengan teknik ornamentasi seperti puruluk dan ketrok. Perpaduan musik Barat dan Sunda misalnya terasa di bagian awal lagu, yakni saat piano dan bass memainkan nada-nada diatonis, suling pun ngagelik menyayat hati.

Ada pula lagu Bakikik. Karya ini memiliki nuansa Sunda yang sangat kental dengan vokal beluk ber-laras Salendro yang disisipkan di bagian tengah lagu.
Dan yang terakhir, Sky. Sama seperti judulnya, karya ini sukses membawa para penonton mengarungi indahnya perjalanan udara menuju negeri Sakura seperti pengalaman sang komposer―Yadi Mulyadi.

Sky mengawinkan unsur pentatonic scale diatonis dan laras Madenda Sunda yang memunculkan cita rasa Jepang dan Sunda dalam waktu bersamaan. Selain itu, penggunaan ritmis yang energik membuat karya ini makin ciamik.
Karya ini menjadi penutup perjalanan audiens dalam menjelajahi komposisi musik yang disuguhkan Iwung Foundation, sekaligus menjadi awal dari perjalanan perkembangan musik angklung yang lebih variatif dan inovatif di masa mendatang.

Penulis: Mayang A Nurzaini

Editor: Ghaliyah BD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar